PENULIS : R. SITI ZUHRO, LILIS MULYANI, FITRIA
PENERBIT : PENERBIT OMBAK ( BEKERJA SAMA DENGAN THE HABIBIE CENTER )
TEBAL HALAMAN : 122 HALAMAN
Peraturan Daerah ( Perda ) merupakan pilar utama yang memayungi realisasi otonomi daerah. Sebagaimana halnya undang - undang, Perda memiliki karakteristik yang bersifat mengatur, khususnya mengatur relasi antara pemerintah daerah, masyarakat lokal dan stakeholders lokal seperti dunia usaha. Perda bukan hanya mengatur hal - hal yang menyangkut khidupan politik, sosial dan budaya masyarakat, tapi juga ekonomi daerah. Karena itu, Perda menjadi instrumen penting dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan daerah pada umumnya.
Di tataran praktis, Perda yang dibuat belum sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat dan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Akibatnya, muncul pembatalan Perda oleh Departemen Dalam Negeri ( Depdagri ) dan Mahkamah Agung. Pembatalan tersebut disebabkan oleh keinginan pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatannya melalui pajak dan retribusi yang tak jarang justru melanggar undang - undang atau peraturan di atasnya. Depdagri menganggap sejumlah Perda telah melanggar pedoman yang telah ditentukan, baik oleh undang - undang maupun peraturan yang lebih tinggi lainnya.
Dalam konteks daerah Perda bukan hanya sebagai katalisator ekonomi, namun juga sebagai "alat' mengatur perilaku masyarakat. Masalahnya sejauh ini tak sedikit Perda yang dibuat disinyalir melanggar hak- hak asasiwarga, termasuk hak - hak asasi perempuan. Komnas Perempuan merilis ada 154 Perda yang dinilai diskriminatif. Perda yang melanggar hak - hak asasi perempuan karena membatasi gerak perempuan dan mengatur cara berpakaian bagi perempuan.
Fenomena pembatalan Perda oleh Depdagri dan penolakan oleh sebagian masyarakat atas sebagian Perda yang disahkan memunculkan pertanyaan : bagaimana proses pembentukan Perda dan apa kendalanya serta bagaimana prospeknya ke depan ? Buku ini berusaha mengurai dan mencari solusi kekisruhan Perda.
PENERBIT : PENERBIT OMBAK ( BEKERJA SAMA DENGAN THE HABIBIE CENTER )
TEBAL HALAMAN : 122 HALAMAN
Peraturan Daerah ( Perda ) merupakan pilar utama yang memayungi realisasi otonomi daerah. Sebagaimana halnya undang - undang, Perda memiliki karakteristik yang bersifat mengatur, khususnya mengatur relasi antara pemerintah daerah, masyarakat lokal dan stakeholders lokal seperti dunia usaha. Perda bukan hanya mengatur hal - hal yang menyangkut khidupan politik, sosial dan budaya masyarakat, tapi juga ekonomi daerah. Karena itu, Perda menjadi instrumen penting dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan daerah pada umumnya.
Di tataran praktis, Perda yang dibuat belum sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat dan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Akibatnya, muncul pembatalan Perda oleh Departemen Dalam Negeri ( Depdagri ) dan Mahkamah Agung. Pembatalan tersebut disebabkan oleh keinginan pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatannya melalui pajak dan retribusi yang tak jarang justru melanggar undang - undang atau peraturan di atasnya. Depdagri menganggap sejumlah Perda telah melanggar pedoman yang telah ditentukan, baik oleh undang - undang maupun peraturan yang lebih tinggi lainnya.
Dalam konteks daerah Perda bukan hanya sebagai katalisator ekonomi, namun juga sebagai "alat' mengatur perilaku masyarakat. Masalahnya sejauh ini tak sedikit Perda yang dibuat disinyalir melanggar hak- hak asasiwarga, termasuk hak - hak asasi perempuan. Komnas Perempuan merilis ada 154 Perda yang dinilai diskriminatif. Perda yang melanggar hak - hak asasi perempuan karena membatasi gerak perempuan dan mengatur cara berpakaian bagi perempuan.
Fenomena pembatalan Perda oleh Depdagri dan penolakan oleh sebagian masyarakat atas sebagian Perda yang disahkan memunculkan pertanyaan : bagaimana proses pembentukan Perda dan apa kendalanya serta bagaimana prospeknya ke depan ? Buku ini berusaha mengurai dan mencari solusi kekisruhan Perda.